Jumat, 06 Januari 2017

Air Telaga Jadi Tumpuan Warga Ngloro Menghemat Air Bak PAH


Bak Penampungan Air Hujan (PAH) yang mayoritas dimiliki warga kawasan selatan Gunungkidul masih menjadi andalan sebagai tempat persediaan air sekaligus cara mereka mengelola pemenuhan kebutuhan air domestik. Hal ini terutama bagi mereka yang belum terjangkau jaringan air dari PDAM.
Seperti halnya Wasdi Utomo, salah satu warga Padukuhan Ngloro Desa Ngloro Kecamatan Saptosari, bak PAH yang dimilikinya menjadi tempat penampungan air hujan sebelum dimanfaatkan untuk berbagai keperluan rumah tangga. Dijelaskan olehnya, rata-rata volume bak yang dimiliki warga di wilayah setempat sekitar 9 m3.
“Untuk segala kebutuhan, mandi, mencuci, dan semua keperluan dapur termasuk minum. Apabila isi penuh, akan habis selama dua minggu,” jelasnya.
Ia menambahkan, bak yang dibuatnya sekitar tahun 1992 tersebut, airnya akan bertahan selama satu bulan, dengan catatan kegiatan mandi keluarganya dilakukan di telaga yang berada di wilayah tersebut. “Terutama saat kemarau, kalau mandinya di telaga, (penggunaan) air bak akan lebih awet,” tambahnya.
Kalau air bak habis, lanjutnya, ada dua alternatif yang ditempuh oleh warga. Membeli kepada warga lain yang memiliki saluran air PDAM dengan harga Rp 8 ribu/kubik. Kemudian jika air PDAM tidak lancar warga akan membeli dari penjual air tangki dengan harga Rp 120.000 untuk satu rit truk tangki berkapasitas 5.000 liter.
Kebanyakan warga membuat bak berada di luar rumah dengan bentuk tabung, sebagian yang lain berbentuk balok. Upaya menampung air hujan dalam bak PAH dilakukan dengan membuat talang air yang menampung tirisan air pada genteng dialirkan menuju bak.
“Agar mudah dalam mengambil, kebanyakan ditempatkan di dekat dapur, kemudian biasanya disusul pembangunan kamar mandi di sekitar bak,” pungkas Wasdi. (Kandar).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar